Sorry and Thankyou
"Hmm," terllihat seorang
perempuan menggeliat di atas ranjangnya. Ia merubah posisinya menjadi duduk. Ia
menghela napas panjang dan memandang jendela besar di sebelah kiri ranjangnya.
Gelap. Hanya ada bintang dan bulan yang menghiasi malam kelamnya. Terdengar
suara air yang bersentuhan dengan tanah secara teratur. Melodi yang damai dan
menenangkan. Ia melirik jam digital yang terdapat di sebelahnya. "Haah,
aku bangun tengah malam lagi," gumamnya setelah melihat jam yang
menunjukan pukul 02.36. Sudah menjadi kebiasaannya beberapa hari terakhir untuk
bangun larut malam. Ia tidak mempermasalahkannya lagi dan mulai berjalan kearah
jendela untuk duduk disana. Menyingkirkan tirainya dan membukanya. Memandang
hujan yang turun dengan derasnya. Juga semilir angin yang menghantam wajahnya.
Ia memejamkan matanya, berusaha untuk menikmati keseluruhannya. Memori-memori
itu terlintas dibenaknya lagi. Musik. Senyumannya. Kejadian yang dramatis
dibawah hujan yang lebat. Dimana semua orang lebih memilih untuk berlindung
daripada melawan dinginnya angin. Air mata yang menyatu dengan air hujan.
Mengalir dan terjatuh di tanah. Janji yang terucap yang bahkan ia tak tahu
bagaimana melaksanakannya.
9 tahun lalu...
Terlihat dua orang anak gadis yang sedang memakan makan siangnya di bawah pohon
besar. Mereka asyik bercengkrama dan sesekali tertawa. Senyum selalu menghiasi
wajah kedua gadis itu. Pohon besar itu adalah saksi bisu keakraban mereka.
BUKK!! Sebuah bola menghantam salah satu dari gadis itu.
"Terra, kamu gak apa-apakan? Siapa yang nendang bola ini?!" teriak
gadis berambut panjang. "Aku gak apa-apa kok, Sher. Santai aja. Paling
mereka gak sengaja." jawab orang yang bernama Terra dengan senyum.
"Iya. Makanya kalo main bola hati-hati dong!" Shera memberikan
tatapan tajam kepada sekelompok anak laki-laki itu sebelum melempar bolanya
kearah mereka. Shera kembali duduk disamping Terra. Bekal mereka telah habis,
namun mereka masih ingin duduk dibawah pohon itu.
"Mm, Ter, kamu mau jadi apa kalo kamu sudah besar nanti?" tanya Shera.
Matanya memandang langit yang berawan seakan-akan membayangkan apa yang akan ia
lakukan ketika ia sudah dewasa.
"Entahlah," jawab Terra yang juga sedang memandang langit. "Dulu
aku pernah bermimpi akan menjadi penyanyi karena aku suka sekali bernyanyi."
lanjut Terra. "Kamu bisa bernyanyi? Coba dong, kamu nyanyi! Aku belum
pernah dengar!" Kata Shera antusias sambil menatap Terra.
"Eh? Aku..aku hanya suka bernyanyi. Bukan berarti suaraku bagus."
Shera menyerngitkan alisnya. "Tak apa! Aku hanya ingin dengar! Aku tidak
akan mentertawakanmu! Aku juga ingin menjadi violinist terkenal! Nanti kalau
sudah besar, kita berduet ya!" ajak Shera bersemangat. Terra tersenyum dan
mengangguk kecil. "Janji?" Tanya Shera sambil menunjukan
kelingkingnya. "Iya. Aku...janji," balas Terra sambil mengaitkan
kelingking mereka.
***
Ia merasakan pundaknya di goyangkan oleh seseorang dan terdengar samar-samar
suara orang tersebut. "-Ra, ayo bangun. Hari sudah siang, nih! Ter..,
Terra," Terra menyerngitkan dahinya dan perlahan membuka kelopak matanya.
Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan mulai berdiri dari tempat duduknya.
"Mm, Raysha. Jam berapa sekarang?" tanya Terra. "Jam 7! Sana
mandi, terus kita langsung ke Festival Paskah Beethoven." ujar Raysha sambil
menyenggol pundak Terra lagi. "Iya..iya," Terra berjalan pelan menuju
kamar mandi.
Setelah mengenakan pakaian yang menurutnya cukup pantas, ia berjalan keluar
menemui Raysha yang sedang sarapan. "Wah, kamu cukup cantik mengenakan
pakaian itu," puji Raysha yang tak ditanggap oleh Terra. Mereka
melanjutkan sarapan dengan keheningan dan beberapa perkataan dari Raysha.
"Ayo," ajak Terra yang diikuti Raysha.
Tak lama setelah mereka sampai di Istana Kerajaan dan Balai Konser
Philharmonic, Festival Paskah Beethoven dimulai. Terdengar lagu-lagu klasik
terkenal yang dimainkan oleh 30 musisi dari berbagai belahan dunia.
"Ah, Sorry," ucap Raysha ketika tak sengaja menyenggol orang disana.
"Never mind," balas orang itu. "Ray, ada a..pa?" ucapan
Terra terhenti ketika ia melihat siapa yang berada di dekat Raysha saat ini.
"Oh, Terra. Tadi aku gak sengaja nyenggol orang ini." Perkataan
Rayshapun diacuhkannya.
Mata Terra terbelalak lebar. "Shera?" tanya Terra pelan. Orang yang
disebut sebagai Shera menyerngitkan alisnya pertanda dia bingung dan heran.
"Kamu berasal dari Indonesia?" Tanya orang itu senang. Senyum muncul
di wajahnya yang cantik itu. "Kamu...tidak ingat aku?" tanya Terra
sedih. "Apa maksudmu? Aku memang tak mengenalimu. Mungkinkah kamu berpikir
aku Shera?" tanya orang itu balik. Wajahnya berubah menjadi sedih. Terra
terlihat makin bingung dengan perkataan gadis itu. 'Bukannya dia memang Shera?'
Batinnya. Raysha yang tak tahu apa-apa hanya diam memperhatikan mereka berdua.
"Aku..saudara kembarnya," jawab orang itu pelan. Terra baru akan
mengatakan sesuatu sampai gadis itu kembali berbicara. "Kau pasti bertanya
kenapa dia tidak memberitahumu? Dulu orangtua kami bercerai. Shera diasuh oleh
ayah kami dan aku diasuh oleh ibu. Oh ya, aku belum mempekenalkan diri. Aku
Sahla," Orang yang bernama Sahla mencoba untuk tersenyum. Ia mengulurkan
tangannya dan dijabat oleh Terra. "Terra," jawab Terra singkat. Ia
memaksakan dirinya tersenyum.
"Shera...sudah meninggal." dan Terra tak dapat menahan rasa
keterkejutannya. Beberapa tetes air mata meleleh melewati pipinya itu. Ia
bahkan belum menepati janjinya untuk berduet bersama Shera. Dan dia belum
meminta maaf pada Shera. Memori-memori akan perpisahannya dengan Shera kembali
memenuhi pikirannya.
***
6 tahun yang lalu...
Di aula sebuah sekolah terlihat sangat ramai hari ini. Aula SMP Benih Harapan,
tempat Terra dan Shera bersekolah sedang mengadakan acara. Acara perpisahan
sekaligus kelulusan angkatan 29 di SMP Benih Harapan. Semua orang tua yang
datang tersenyum haru melihat anaknya telah lulus dari SMP. Terra melihat
teman-teman seangkatannya sedang berbicara akrab dengan orang tua mereka.
Sejujurnya, ia iri. Orang tuanya bahkan lebih memilih mengurus perusahaan
mereka di luar negeri daripada mengunjungi acara kelulusannya. Duk.. Seseorang
menyentuh bahunya keras. Ia tahu itu adalah kebiasaan Shera. Ia berbalik dan
melihat Shera menatapnya dengan senyum tulus. "Jangan terus memandang
mereka seperti itu. Orang tuamu pasti memiliki alasan kuat untuk itu. Aku
dengar kamu peringkat 4 seangkatan loh..." Shera selal tahu bagaimana cara
menghibur Terra. Ia menggoda Terra terus-terusan membuatnya malu.
"Baiklah anak-anak, kita sampai pada acara kita selanjutnya. Acara Unjuk
Bakat setiap kelas!" Dan terdengar sorak dan tepuk tangan meriah dari para
murid. "Ssstt.. Kemarin saat kau tidak masuk, kami sekelas disuruh memilih
siapa yang akan mengikuti acara unjuk bakat ini. Karena tidak ada yang mau, aku
mengusulkan kamu sebagai penyanyi dan mereka semua setuju." bisik Shera
kepada Terra. Terra merasakan jantungnya berdebar grogi dan keringat dingin
mengucur dipelipisnya. "A..Apa?" lirih Terra. "Dan selanjutnya
dari kelas 9.3!" seru pembawa acara. "Terra! Terra! Terra! Terra!
Terra!" seluruh murid dari kelasnya menyorakan namanya. Tak terkecuali
Shera. Terra di dirong maju oleh Shera keatas panggung. Ia melangkahkan kakinya
menaiki tangga menuju panggung dengan bergetar.
"Baiklah Shera, disini tertulis kamu akan bernyanyi. Apa yang akan kamu
nyanyikan?" Tanya si pembawa acara. "Aku..aku..aku akan
bernyanyi...emm. Twinkle Twinkle Little Star!" ujar Terra ragu.
"Kenapa memilih lagu itu?" tanya si pembawa acara lagi.
"Karena..karena.. lagu itu mengingatkan kita pada masa kecil. Jadi kita
tidak akan melupakan masa kecil kita walau sudah beranjak dewasa." ujar
Terra ragu lagi. "Baiklah mari kita mulai! 1! 2! 3!" berbagai alat
musik mulai berbunyi. Namun, Terra tak kunjung bernyanyi. Ia menggenggam mic
itu dengan erat. Sampai musik berhentipun ia tak kunjung bernyanyi. Semua
menatap heran padanya. Terutama Shera. Ia memberanikan diri untuk berbicara.
"Aku..aku..aku tidak bisa!" ucap Terra sedih. Air mata mulai mengucur
di wajahnya. "Terra.." gumam Shera. Terra segera menjatuhkan mic itu
dan berlari keluar dari aula sekolahnya.
Karena musik yang terlalu keras didalam, ia tak tahu bahwa keadaan diluar
sedang hujan. Dengan nekat, dia menerobos derasnya hujan. "Terra!"
seru seseorang. Terra berhenti dan berbalik. Disana Shera berjalan menuju
dirinya tanpa membawa payung. Nekat menerobos hujan seperti Terra. "Kenapa?
Kenapa kau tidak menunjukkan bakatmu Terra?" hujan membasahi keduanya.
"Karena..aku tak bisa! Aku tak bisa bernyanyi!" ucap Terra pasrah.
"Kau bisa bernyanyi.
Tapi kau tak mau
menunjukannya." balas Shera. "Sejak awal kau ingin bernyanyi. Hatimu
berkata kau ingin bernyanyi. Hanya saja, kau terlalu takut untuk mencobanya.
Terlalu tak percaya diri! Kau menghancurkan keparcayaan kami. Tak bisa
diandalkan." ucap Shera tajam. "Dari awal aku tak mau melakukannya!
Kalian memintaku tanpa meminta persetujuanku! Aku...Aku takut! Aku..tak
bisa..Aku tak bisa melakukannya." balas Terra. "Kalau begitu...aku
juga tak bisa...Aku juga tak bisa berteman denganmu..Aku tak bisa berteman
dengan seorang pecundang!" Kalimat terakhir Shera sangat menyakiti
hatinya. Tangisannya pecah bersamaan dengan Shera yang melangkah menjauhinya.
Air matanya bahkan tak dapat dibedakan dengan air hujan. Ia terus berdiri
disana menatap pintu gerbang sekolahannya. Tak ada yang menemuinya lagi. Tak
ada. Hanya hujan yang menemaninya menangis. Dan angin yang berhembus seiring
dengan mendinginnya hati Terra.
***
Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan baru menyadari bahwa sekarang dia
berada di kamarnya. "Kau sudah bangun?" Tanya Raysha pelan. Ia
mengangguk lemah dan berharap apa yang baru saja dialaminya tadi hanya mimpi.
"Apa tadi...aku pingsan?" Tanya Terra. Raysha tersenyum lembut dan
mengangguk. "Berarti semuanya benar-benar terjadi. Apa yang dikatakannya
saat aku pingsan tadi?" Raysha menunduk sebentar dan menjawab,
"Baiklah kalau kau ingin tahu. Sahla bilang Shera meninggal 6 tahun yang
lalu." Mata Terra kembali melebar. Berarti..."Ia meninggal saat
sehari setelah kelulusannya. Dia ingin memberikanmu surat sebagai tanda
permintaan maafnya. Tapi, dia lebih memilih menyelamatkan seorang anak kecil
yang berada di tengah jalan raya. Ia ingin memberikan ini untukmu," Raysha
menyodokan selembar amplop putih yang telah kusut dan agak kotor.
'Hi, Terra. Aku tahu ucapanku kemarin terlalu berlebihan. Aku hanya ingin
menumbuhkan rasa percaya dirimu. Aku memang salah. Seharusnya aku meminta
pendapatmu dulu sebelum bertindak. Aku pernah mendengar rekaman suaramu di HP
mu. Suaramu bagus, Terra! Sangat bagus! Kenapa kau tidak bernyanyi saja sih.
Tahu tidak, semua murid di kelas kita merasa bersalah loh, denganmu! Aku harap
kamu mau memaafkan mereka dan juga aku. Aku sengaja mengucapkan maafku melalui
surat ini karena aku masih malu bertemu denganmu kerana kejadian kemarin. Aku
merasa tidak pantas dimaafkan. Hehehe... maafkan aku dan yang lainnya ya? :)'
Terra meneteskan air mata dalam diam. Tak terdengar isak tangisnya. 'Andaikan
kau tahu Shera, aku sudah memaafkanmu bahkan aku berterima kasih padamu.
Setelah kejadian itu, aku berubah menjadi gadis yang pemberani dan percaya
diri. Terima kasih ya... Aku juga minta maaf karena dulu tidak dapat diandalkan
dan telah membuat kalian malu. Kau tahu...sekarang aku sudah menjadi penyanyi
terkenal dan satu lagi. Aku minta maaf karena tidak dapat melaksanak janji
kita..' Dan Terra tersenyum tulus. Senyum tulus yang pertama kali ini ia
berikan.